Liputan6.com, Jakarta - Memenuhi undangan pemerintahan Presiden RI Joko Widodo, Komisioner Tinggi HAM PBB Zeid Ra'ad Al Hussein menyatakan bahwa lembaga yang ia naungi akan segera mengirim misi ke Papua.
Hal itu diutarakan oleh Al Hussein usai melaksanakan diskusi dengan Presiden RI Joko Widodo dan pemerintah Indonesia di Jakarta pada 5 - 6 Februari 2018.
"Dalam diskusi selama dua hari terakhir, pemerintah Indonesia telah mengundang kami untuk mengunjungi Papua dan kami akan segera mengirim misi," kata Al Hussein, memaparkan hasil diskusinya dengan Jokowi dan pemerintah RI kepada awak pers di UN Information Center Jakarta, Rabu 7 Februari 2018.
Advertisement
Baca Juga
Al Hussein juga mengatakan bahwa dalam prosesnya, Komisi Tinggi HAM PBB akan berkoordinasi dengan Kantor Regional HAM PBB di Bangkok untuk 'menjalin kemitraan dengan Indonesia guna membantu RI mengkonsolidasikan dan melanjutkan capaian hak asasi manusia-nya'.
Namun, ketika diminta oleh pers untuk mengelaborasi secara detail rencana tersebut sang komisioner mengatakan, "Saya belum bisa menetapkan tanggal dan detail pelaksanaan misi, namun, saya pastikan bahwa rencana itu akan segera terlaksana".
Sementara itu, pada waktu yang terpisah (8/2/2018), Direktur HAM dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri RI Dicky Komar menjelaskan kepada Liputan6.com melalui pesan singkat bahwa, "Undangan Al Hussein ke Papua bersifat umum tanpa spesifik. Dan sepenuhnya menunjukkan keterbukaan pemerintah Indonesia."
"Mengingat keterbatasan waktu agenda Komisioner Tinggi HAM PBB maka, kunjungan tersebut dapat diwakilkan kepada tim Komisi Tinggi HAM PBB dan pengaturannya akan dibahas lebih lanjut dengan pemerintah Indonesia," lanjut Dicky.
Menyusul Krisis Kesehatan di Asmat
Rencana tersebut muncul usai krisis kesehatan akibat wabah campak dan gizi buruk yang telah menelan 71 korban jiwa di Asmat, Papua, yang mencuat sejak September 2017 lalu.
Isu Krisis Kesehatan di Papua sendiri menjadi satu dari sejumlah fokus isu yang didiskusikan antara pemerintah RI dengan Al Hussein -- yang telah melaksanakan misi kunjungannya ke Indonesia sejak beberapa hari terakhir.
Sesuai dengan kapasitasnya, Al Hussein memandang krisis kesehatan di Papua dari sudut pandang hak asasi manusia, terkhusus dari segi bagaimana pemerintah mengupayakan pemenuhan hak ekonomi-sosial warga negara.
Berdasarkan pengamatannya, sang Komisioner Tinggi HAM PBB menilai, bahwa pemerintah Indonesia masih belum mampu menciptakan sebuah pemerataan perlindungan dan pemenuhan hak ekonomi-sosial untuk seluruh warga negara, terutama bagi kelompok masyarakat yang rentan dan termarjinalkan -- seperti masyarakat Papua. Demikian seperti dikutip dari excerpt naskah rilis pers Al Hussein di UNIC Jakarta 7 Februari 2018.
Kondisi tersebut justru menciptakan kondisi kesenjangan ekonomi dan sosial yang santer di Tanah Air.
"Indonesia telah menikmati pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan selama beberapa tahun terakhir ... tetapi tidak semua rakyatnya ikut menikmati," kata Al Hussein.
"Dan, masih ada kesenjangan serius dalam perlindungan hak ekonomi-sosial bagi rakyat Indonesia. Contohnya, kondisi gizi buruk, kemiskinan, dan penyakit yang parah dilaporkan terjadi di wilayah terpencil di negara ini, termasuk di Papua -- yang seharusnya dapat dicegah," lanjutnya.
Al Hussein melanjutkan, "Tolak ukur pembangunan dan pertumbuhan ekonomi seharusnya ditekankan pada dampaknya terhadap masyarakat yang paling rentan dan dimulai dari mereka yang paling kekurangan" -- seperti di Papua.
Pemerintah Akan Bangun Asrama dan Layanan Kesehatan di Papua
Sementara itu, pada kesempatan yang terpisah, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas bekerja sama dengan Indonesian American Society of Academics (IASA) akan melakukan pengembangan sekolah berpola asrama dan pelayanan kesehatan jarak jauh (telemedicine). Program ini ditujukan untuk Provinsi Papua dan Papua Barat.
Kesepakatan kerja sama itu tertuang dalam bentuk penandatanganan Naskah Perjanjian Kerja Sama antara Menteri PPN/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro dan Edward Wanandi, Chairman IASA di Gedung Bappenas, Jakarta, Rabu 7 Februari 2018.
Edward Wanandi mengatakan, ide pengadaan sekolah asrama dan telemedicine di tanah Papua ini muncul pada 2016 sebagai bentuk tantangan dari Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) pada saat itu, Luhut Binsar Pandjaitan.
"Luhut pada saat itu berkata, Polhukam sedang konsentrasi dengan pembangunan di Papua secara holistik. Lalu dia bertanya kepada saya, apakah kawan-kawan diaspora (Indonesian Diaspora Network Global) bisa ikut memberi bantuan ke sana?" tutur Edward di Kementerian PPN/Bappenas, Jakarta.
Tantangan tersebut kemudian dijawab lewat bentuk kerja sama dengan pemerintah melalui Kementerian PPN/Bappenas. Lokasi pembangunan sekolah asrama dan telemedicine akan dimulai di tiga kabupaten, yakni Kabupaten Jayapura, Kabupaten Merauke, dan Kabupaten Nabire.
Sementara itu, Bambang Brodjonegoro menyampaikan, ruang lingkup kerja sama ini sejalan dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2017 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
"Apa yang PPN/Bappenas dan IASA lakukan ini sejalan dengan Inpres Nomor 9 Tahun 2017, yaitu mengenai peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan, peningkatan akses dan kualitas pelayanan pendidikan, peningkatan jaminan sosial dan kesejahteraan sosial, pengembangan ekonomi lokal, penyediaan infrastruktur dasar, peningkatan konektivitas, serta peningkatan tata kelola," paparnya.
Terkait anggaran, Bambang melanjutkan, pemberian anggaran dana dari pemerintah untuk pembangunan Papua pada 2016 yang sebesar Rp 85,7 triliun dapat dimaksimalkan lewat pengadaan program ini.
"Kita ingin alokasi anggaran untuk Papua yang pada 2016 benar-benar tersebar dengan baik sesuai kebutuhan kabupaten-kabupaten yang ada di Papua. Kita tidak ingin dana itu menumpuk di kabupaten tertentu saja," terang Bambang.
Advertisement