Liputan6.com, Baghdad - Amerika Serikat pada Rabu 15Â Juni 2019 waktu setempat telah memerintahkan pegawai non-daruratnya untuk meninggalkan Irak. Sebuah langkah yang muncul ketika pemerintahan Donald Trump memperingatkan potensi ancaman terhadap pasukan Amerika di Timur Tengah dari Iran atau agen-agen yang didukung Iran.
Menurut laporan VOA Indonesia, Kamis (16/5/2019), Jerman dan Belanda mengatakan, mereka menangguhkan operasi pelatihan militer di Irak, meskipun Jerman mengatakan tidak menganggap bahwa ancaman terhadap kepentingan Barat di Irak sudah dekat.
Baca Juga
Presiden AS Donald Trump hari Selasa membantah laporan bahwa ia mempertimbangkan untuk mengirim 120.000 tentara guna melawan Iran, tetapi tidak mengesampingkan pengerahan tentara "lebih banyak" pada masa depan.
Advertisement
"Saya pikir itu berita palsu", Trump mengatakan tentang laporan harian New York Times bahwa Gedung Putih sedang mempertimbangkan rencana untuk mengirim 120.000 tentara ke wilayah tersebut.
"Akankah saya melakukan itu? Tentu saja. Tetapi kami belum merencanakannya," kata Trump.
Menurut laporan Times, 120.000 tentara yang dipertimbangkan tidak akan digunakan untuk menyerang Iran, sesuatu yang dikatakan pakar perencana, akan membutuhkan jumlah yang jauh lebih besar.
AS Kirim Armada Perang
Sebelumnya, Amerika Serikat tiba-tiba mengirimkan kapal induk dan satu gugus tugas pengebom ke Timur Tengah. Menurut John Bolton, penasihat keamanan Negeri Paman Sam, hal itu dilakukan sebagai respons atas sikap Iran yang "mengganggu" dan akhir-akhir ini meningkat.
Hingga saat ini masih belum jelas sikap Iran yang dimaksud oleh Bolton. Bagaimanapun, deklarasi Bolton seolah meningkatkan tensi kedua belah pihak, mengutip The Guardian pada Senin 6 Juni 2019.
Dalam sebuah pernyataan tertulis Bolton mengatakan, kapal induk dan pesawat dikirim untuk "menyampaikan pesan" khusus kepada pemerintah Iran. Pesan yang dimaksud yakni, serangan apapun terhadap AS dan aliansinya akan dibalas dengan bertubi-tubi.
"Amerika Serikat tidak mencari perang dengan rezim Iran, tetapi kami sepenuhnya siap untuk menanggapi serangan apa pun. Baik dengan Korps Pengawal Revolusi Islam (Iran Revolutionary Guard), atau pasukan reguler Iran," kata pernyataan itu.
Sikap AS itu datang menyusul pernyataan Iran bahwa Bolton dan sejumlah pejabat lain tengah membawa pemerintahan Trump ke ambang perang baru.
Advertisement
Iran Akan Keluar dari Kesepakatan Nuklir
Sedangkan baru-baru ini, Iran menyampaikan pengumuman yang mengejutkan. Setahun setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump menarik diri dari kesepakatan nuklir, Teheran mengatakan hendak melakukan hal serupa. Perjanjian yang dimaksud pernah ditandatangani Negeri Persia bersama dengan negara-negara besar dunia.
Meski demikian, Iran menyebut pihaknya tidak akan sepenuhnya menarik diri, mengutip The Guardian pada Rabu 8 Mei 2019.
Teheran akan memberikan waktu dua bulan bagi Uni Eropa untuk menjalankan kewajibannya sebelum diambilnya langkah lebih jauh.
Pengumuman penarikan diri itu akan secara resmi disampaikan kepada duta besar untuk negara-negara yang tersisa dalam perjanjian. Di antaranya adalah Inggris, Prancis, Jerman, China, dan Rusia. Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif akan secara terpisah menetapkan hukum yang lebih terperinci dalam sebuah surat kepada Federica Mogherini, kepala urusan luar negeri Uni Eropa.
Iran mengatakan, pengumuman penarikan diri akan disampaikan oleh Rouhani, termasuk akan menyinggung bagian 26 dan 36 dari JCPOA. Dalam artikel itu dibahas langkah yang memungkinkan Iran untuk mengambil kebijakan tertentu jika satu pihak menarik diri dari perjanjian.Â
Baca selengkapnya di sini...