Liputan6.com, Jakarta - "Tolong, aku tak bisa bernapas. Tolong..." Kata-kata itu berulang kali diucapkan George Floyd, sebelum akhirnya, nyawanya melayang dengan tragis.
Pria 46 tahun itu tewas saat ditangkap polisi Minneapolis. Ia diduga menggunakan uang palsu Us$ 20 untuk membeli rokok di toko kelontong pada Senin 25 Mei 2020.
Ketika dibekuk, ia dipaksa terlentang di jalan. Lutut seorang polisi bernama Derek Chauvin menekan lehernya, sementara dua aparat lainnya, Alexander Kueng dan Thomas Lane menekan bagian pinggang dan kakinya. Satu polisi lagi bernama Tou Thao menjaga agar tak ada yang mendekati tempat kejadian.
Advertisement
Baca Juga
Kematian George Floyd, yang adalah warga Amerika keturunan Afrika, menyulut amarah publik. Berawal dari Minnesota, gelombang protes terhadap dugaan rasialis polisi kulit putih, meluas hingga ke 40Â wilayah di Amerika Serikat bahkan hingga ke Inggris dan Selandia Baru.Â
Seketika, George Floyd jadi ikon gerakan antirasis di Negeri Paman Sam. Sejumlah orang turun ke jalan menuntut keadilan untuk Floyd. Namun, aksi yang sedianya berlangsung damai, tak sedikit yang berakhir dengan kerusuhan dan penjarahan.
Tercatat dua orang tewas ditembak aparat dan 60 lainnya ditangkap dalam aksi unjuk rasa dan penjarahan di sejumlah area permukiman dan pinggiran Kota Chicago. Sementara, laporan Los Angeles Times, mengungkap bahwa pihak berwenang di Los Angeles telah menahan sekitar 2.500 orang sejak Jumat 29 Mei hingga Selasa 2 Juni pagi waktu setempat, setelah unjuk rasa damai yang diwarnai perusakan properti, mengguncang kota itu.
Sedangkan Derek Chauvin, langsung dipecat dari kepolisian dan ditetapkan sebagai tersangka pembunuh George Floyd. Ia kini mendekam di penjara dengan keamanan maksimum.
Saat gelombang protes atas kebrutalan polisi yang menewaskan George Floyd, Presiden Amerika Serikat Donald Trump malah mengeluarkan pernyataan yang membuat banyak warga AS tersulut emosi, alih-alih mendinginkan suasana. Banyak pihak yang menyatakan, Trump tidak memberi kebijakan yang baik di tengah situasi mencekam ini, terlebih ia mengancam akan mengerahkan kekuatan militer untuk meredam aksi.
Padahal, dalam sebuah pernyataan, Donald Trump pernah menyebut dirinya adalah "President of law and order" atau presiden yang menjunjung tinggi hukum dan peraturan, seperti dikutip dari laman ABC News.
Selain kasus kematian George Floyd, Trump belakangan juga dikritik karena gagal mengelola momok Virus Corona COVID-19 yang menewaskan banyak warga Amerika Serikat.
Lantas apakah permasalahan ini bisa membuat Donald Trump memenuhi ambisinya sebagai presiden Amerika Serikat dua periode pada pemilihan umum November 2020 ini?
Presiden ke-6 Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono menilai, situasi di Amerika itu khas. Dalam pemilihan presiden AS yang digelar 5 bulan lagi, Trump sebagai petahana tentu sangat ingin terpilih kembali. Sementara, penantangnya, Joe Biden juga punya ambisi untuk mengalahkan Trump.Â
Joe Biden mengkritik Trump atas tindakannya dalam menangani aksi protes. Saat berbicara di Philadelphia mengenai kerusuhan yang menjalar di seluruh negeri terkait terbunuhnya George Floyd akibat kebrutalan polisi, Biden mengatakan, "dapat dimaklumi jika warga AS percaya presiden mereka lebih tertarik pada kekuasaan dibandingkan prinsip, lebih tertarik memenuhi hasrat pribadinya ketimbang kebutuhan rakyat yang dipimpinnya."
Sosok Joe Biden yang merupakan kandidat kuat dari Demokrat digadang-gadang akan menjadi rival Trump pada pilpres tahun ini.
"Trump diibaratkan tengah bersiap untuk memasuki kembali ring tinju, tapi kakinya diberati oleh 3 pemberat. Rapor Amerika dalam menangani pandemi COVID-19, ekonomi yang suram dan gelombang unjuk rasa besar. Ini pasti menjadi handicap yang besar bagi Trump. Kecuali, jika dia mampu mengubah krisis itu menjadi peluang," ungkap pria yang karib disapa SBY ini dalam keterangan tertulisnya yang diterima Liputan6.com, Rabu (3/6/2020).
Bagi negara yang rakyat dan politiknya saat ini sangat terbelah, sambung SBY, belum tentu Trump kalah. Celah ini barangkali yang akan digunakan Trump untuk kepentingan politiknya.
Menurutnya, Trump tahu mana yang minoritas dan mana yang mayoritas di negaranya. Bisa saja aksi protes yang umumnya dilakukan komunitas kulit hitam ini justru akan digunakan untuk membangun kubu yang "di seberang". "Ujungnya rasisme juga. Tesisnya kembali menciptakan division dan bukan unity. Politik pembelahan atas dasar identitas," kata SBY.
"Dalam politik, untuk mencapai kemenangan seolah cara apapun halal, meskipun dianggap tidak etis. The ends justify the means. Namun, strategi begini belum tentu akan dilakukan Trump guna memenangkan pemilihan presiden bulan November 2020 mendatang. Tapi, bagaimanapun ada kemungkinan dan logikanya."
Sementara itu, Ketua Indonesian Institute of Advanced International Studies (INADIS) Suzie Sudarman menilai, rentang waktu hingga ke hari pemilihan presiden AS masih sangat lama. Dalam masa itu, berbagai macam hal bisa dilakukan para calon dan pendukungnya untuk mendongkrak elektabilitas.
"Di Amerika Serikat, rentan waktu dari Juni hingga November 2020 nanti seperti seabad. Manipulasi bisa kapan saja terjadi," ujar Suzie yang juga pengajar Ilmu Hubungan Internasional di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia ini, kepada Liputan6.com.
"Manipulasi dari pihak asing seperti Rusia yang menggelorakan sayap kanan Amerika Serikat dan pendekatan orang-orang kaya yang pro akan Trump bisa membuat situasi berubah," tambahnya.
Terkait dengan manuver politik yang dilakukan Joe Biden, menurut Suzie, sosok Biden berbeda jika dibandingkan dengan Barack Obama ataupun Berny Sander.
"Obama pada masa kampanyenya memberikan pengharapan. Biden kurang atraktif. Sebab, warga AS jauh lebih tertarik pada orang yang atraktif," jelas Suzie.
Berny Sander juga dinilai Suzie sebagai sosok yang sebelumnya bisa menggaet kaum milenial. Ia pernah menekankan pada pemilu 2016 bahwa rakyat AS harus bangkit, rakyat berhak menuntut asuransi.
"Warga AS itu hidupnya sudah terlalu nyaman. Jika isu pengangguran masih terjadi sampai November, maka Donald Trump bisa saja kalah," Suzie memungkasi.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Dukungan untuk Donald Trump Menurun
Mantan Wakil Presiden AS Joe Biden unggul melawan presiden Donald Trump dalam jajak pendapat Washington Post /ABC terbaru menjelang pemilihan umum 2020.
Dalam jajak pendapat pemilih terdaftar yang dilakukan antara 25-28 Mei, 53 persen responden mengatakan bahwa mereka akan memilih Joe Biden. Sementara 43 persen mendukung presiden AS saat ini, Donald Trump.
Dua bulan sebelumnya, jajak pendapat yang sama menghasilkan 49 persen versus 47 persen untuk Biden dan Trump.
Penanganan Donald Trump terhadap pandemi Virus Corona COVID-19 dan dampak ekonomi selanjutnya dalam andil merusak skor pemilihan Presiden AS itu, tetapi ia tetap mempertahankan inti sebagai pendukung.
CNNÂ melaporkan, posisi Biden dalam jajak pendapat menempatkannya di salah satu posisi terbaik untuk calon penantang sejak jajak pendapat ilmiah dimulai pada 1930-an.
Seperti dikutip dari Independent.co.uk, Rabu (3/6/2020), Joe Biden berada di posisi puncak dari 40 lebih jajak pendapat nasional yang dilakukan selama Mei. Kandidat terakhir yang berada dalam posisi sepertinya adalah Jimmy Carter, pemenang pemilihan uum AS 1976.
Joe Biden mengungguli Trump dalam rata-rata pemilihan di setiap bulan tahun ini, dengan raihan tidak pernah turun di bawah empat persen.
Ketika mempertimbangkan jajak pendapat yang mencakup panggilan ke telepon seluler perorangan (dianggap lebih akurat), polling kepemimpinan rata-rata Joe Biden mungkin lebih besar masih sekitar tujuh persen.
Kendati demikian, karena jajak pendapat hanya menangkap momen dalam pikiran pemilih, tidak bisa dianggap sebagai prediksi.
Dengan protes yang mencengkeram sebagian besar AS, situasi ekonomi yang memburuk, dan tidak ada akhir yang terlihat untuk pandemi Virus Corona COVID-19, ada lebih banyak hal yang dimainkan daripada tahun pemilu umumnya.
US News melaporkan, Donald Trump menerima respons negatif atas tanggapannya terhadap protes yang sedang berlangsung di seluruh negara itu, setelah kematian George Floyd pekan lalu, demikian menurut dua jajak pendapat baru.
Sebuah jajak pendapat CBS News yang dirilis pada Selasa 2 Juni 2020 mendapati 49% responden tidak menyetujui tanggapan presiden terhadap penanganan protes di Minneapolis, sementara hanya 32% yang menyetujui. Sementara, 19% lainnya mengatakan mereka tidak cukup mendengar. Hanya 33% dari mereka yang disurvei menyetujui tanggapan mantan Wakil Presiden Joe Biden -- rival Trump dari Partai Demokrat dalam pemilihan presiden 2020 -- tetapi sekitar 42% mengatakan mereka belum mendengar cukup tanggapan dari Biden. Sekitar 25% lainnya mengatakan, mereka tidak setuju dengan jawaban Biden.
Sebuah jajak pendapat terpisah dari Morning Consult yang dirilis Senin malam menemukan bahwa 45% pemilih terdaftar berpikir Trump melakukan pekerjaan yang buruk dalam menangani situasi tersebut, sementara 32% merasa dia melakukan pekerjaan yang sangat baik, sangat baik atau bagus. Sekitar 11% lainnya mengatakan dia melakukan pekerjaan "only fair"Â atau sedang-sedang saja dalam menanggapi protes.
Kedua jajak pendapat dilakukan sebelum Trump mengintensifkan tanggapannya terhadap protes pada Senin 1 Juni malam, mengancam selama pidato bahwa Gedung Putih akan mengerahkan ribuan personel militer aktif ke jalan-jalan AS.
Setelah para pengunjuk rasa di dekatnya dibubarkan dengan gas air mata, ulah Trump berpose dengan sebuah Alkitab di depan Gereja St. John memicu kemarahan uskup dari Keuskupan Episkopal Washington.
Sementara itu, lebih banyak responden di kedua jajak pendapat tidak menyetujui kinerja Trump daripada menyetujuinya, peringkat keseluruhannya masih melayang di kisaran 40%, sesuatu yang dia andalkan sejak menjabat.
Responden warga Amerika keturunan untuk jajak pendapat Morning Consult lebih kritis terhadap sang presiden AS. Sekitar 69% dari mereka yang disurvei mengatakan, Trump melakukan pekerjaan yang buruk dalam menangani protes, sementara hanya 14% gabungan mengatakan dia melakukan pekerjaan yang baik, sangat baik atau sangat baik.
Polling Morning Consult juga menemukan bahwa kematian George Floyd dan protes memiliki implikasi untuk pilpres 2020. Sekitar 45% responden mengatakan, mereka sekarang lebih cenderung memilih Biden sebagai hasil dari protes ricuh kematian George Floyd, sementara 31% mengatakan mereka lebih cenderung memilih Trump. Sementara, 18 persen mengatakan "tidak ada dampaknya."
Demikian pula, 70% responden Afro-Amerika mengatakan, mereka lebih cenderung memilih Biden sebagai dampak kematian Floyd dan protes setelahnya. Hanya 6% yang mengatakan lebih cenderung memilih Trump.
Survei CBS News dilakukan oleh YouGov dengan sampel lebih dari 2.000 warga AS yang diwawancarai antara 29 Mei dan 1 Juni, dengan margin kesalahan 2,6%. Polling Morning Consult dilakukan antara 31 Mei dan 1 Juni, dengan sampel nasional lebih dari 1.600 pemilih terdaftar dan margin kesalahan 2%.
Mengutip Politico, dalam survei yang rilis Minggu 31 Mei yang menggunguli Joe Biden, juga menunjukkan penurunan dalam peringkat approval rating Donald Trump, yang 45 persen dalam jajak pendapat terbaru sementara disapproval rating naik menjadi 53 persen.
Kemunduran terjadi setelah Donald Trump mencapai approval rating bersih-positif dari 48 persen menjadi 46 persen pada Maret -- pertama kalinya dalam jajak pendapat ABC-Post bahwa lebih banyak orang Amerika menyetujui kinerja presiden daripada mereka yang tidak sejak dia menjabat.
Advertisement
Dana Kampanye Joe Biden Meningkat
Kasus kematian George Floyd saat ditangkap polisi, menimbulkan kemarahan publik yang turun ke jalan hingga berujung kerusuhan dan penjarahan di sejumlah kota Amerika Serikat. Di sisi lain, Joe Biden, bakal calon presiden AS yang diusung Partai Demokrat mendapat keuntungan politik dari respons Presiden AS Donald Trump yang tak sesuai dengan keinginan publik.
Tim kampanye Joe Biden untuk presiden mengakui adanya peningkatan penggalangan dana. Menurut sumber yang tidak disebutkan namanya, yang mengetahui hal itu, sejak protes yang dimulai pada pekan lalu, pendukung dan bundler (penggalang dana kampanye) Joe Biden telah mendapat peningkatan besar dalam kontribusi baru dan komitmen donor.
Penggalang dana menyampaikan bahwa mereka masing-masing membantu mengumpulkan antara US$ 200.000 (sekitar Rp 2 miliar) dan lebih dari US$ 1 juta (sekitar Rp 14 miliar) selama sepekan terakhir.
Bundler mengatakan, mereka mengumpulkan uang dengan kecepatan yang jauh lebih cepat, dalam beberapa kasus, daripada waktu yang sama.
Ed Rendell, Mantan Gubernur Pennsylvania, juga mengatakan kepada CNBC, ia baru-baru ini menyelenggarakan penggalangan dana secara virtual, yang dijadwalkan untuk pekan depan, dan diperkirakan akan meningkat mendekati US$ 500.000 (sekitar Rp 7 miliar).
Sebaliknya, kemungkinan akan mendatangkan lebih dari US$ 1 juta (sekitar Rp 14 miliar), kata Ed Rendell.Â
Pada Selasa 2 Juni 2020, Ed Rendell mengatakan,"Banyak data akan kembali, karena Biden berkinerja baik dan kami mungkin akan menghasilkan US$ 1,1 juta atau US$ 1,2 juta," seperti dikutip dari CNBC, Rabu (3/6/2020).
Dalam kebanyakan jajak pendapat nasional, posisi, Joe Biden dilaporkan berada di depan Donald Trump; rata-rata polling RealClearPolitics menunjukkan, Biden unggul hampir 6 poin.
Menurut seorang sumber, Tim Joe Biden dan Obama sedang mengerjakan penggalangan dana besar yang mungkin menampilkan Obama sendiri. Hal itu dikatakan dapat membantu mendatangkan jutaan dolar bagi pencalonan mantan wakil presiden itu.
Dorongan untuk kampanye Joe Biden datang, selama sepekan terakhir menjelang pidato di Philadelphia pada Selasa 2 Juni 2020, ketika ia dengan jelas mengecam penanganan Donald Trump terhadap protes yang telah terjadi sejak kematian George Floyd.
Pidato Joe Biden menguraikan strateginya jika ia menjadi presiden, yang termasuk di antaranya mereformasi sistem kepolisian. Â
Mantan wakil ketua di Evercore dan salah satu penggalang dana Joe Biden di industri keuangan, yaitu Charles Myers, mengatakan kepada CNBC bahwa ia telah melihat peningkatan besar-besaran dalam penggalangan dana, lebih dari yang ia miliki pada titik yang sama dalam waktu pada tahun-tahun pemilihan lainnya.
Charles Myers mengatakan, "Saya melihat peningkatan 30% hingga 35% dalam apa yang biasanya saya lihat pada titik ini lima bulan dari pemilihan uang."
Kronologi Tewasnya George Floyd di Lutut Polisi
George Floyd, pria berusia 46 tahun, meninggal setelah ditangkap polisi di luar sebuah toko di Minneapolis, Minnesota. Sebelum tewas, ia merintih tak bisa bernafas dan memohon untuk dibiarkan berdiri.
Rekaman kejadian pada 25 Mei yang beredar viral menunjukkan seorang perwira polisi, Derek Chauvin, meletakkan lututnya di leher Floyd ketika dia terkapar di lantai, seperti mengutip laman BBC, Senin (1/6/2020).Â
Chauvin, yang berusia 44 tahun, sejak itu didakwa dengan pasal pembunuhan.
Baca Juga
Peristiwa penting yang menyebabkan kematian Floyd terjadi hanya dalam 30 menit. Berdasarkan keterangan dari saksi, rekaman video dan pernyataan resmi, kronologi kejadian dimulai dengan adanya laporan uang palsu senilai US$ 20.
Sebuah laporan dibuat pada malam hari 25 Mei, ketika Floyd membeli sebungkus rokok dari Cup Foods, sebuah toko kelontong. Meyakini uang kertas US$ 20 yang diberikan merupakan uang palsu, seorang karyawan toko melaporkannya ke polisi.
Floyd telah tinggal di Minneapolis selama beberapa tahun setelah pindah dari kota asalnya Houston, Texas. Dia baru-baru ini bekerja sebagai penjaga di sebuah tempat hiburan di kota itu, tetapi, seperti jutaan orang Amerika lainnya, kemudian ia tidak memiliki pekerjaan akibat pandemi.Â
Menolak Diborgol
Floyd adalah seorang pelanggan reguler di Cup Foods. Dia adalah sosok yang ramah, pelanggan yang menyenangkan yang tidak pernah menyebabkan masalah, kata pemilik toko tersebut, Mike Abumayyaleh.
Tetapi Abumayyaleh tidak bekerja pada hari kejadian. Ketika melaporkan uang palsu yang mencurigakan, karyawan yang masih remaja hanya mengikuti protokol.
Dalam panggilan ke 911, dilakukan pada pukul 20.01, karyawan tersebut mengatakan kepada operator bahwa ia telah menuntut rokok dikembalikan tetapi "dia [Floyd] tidak mau melakukan itu", demikian menurut transkrip yang dirilis pihak berwenang.
Karyawan itu mengatakan pria itu tampak "mabuk" dan "tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri,"Â ungkap transkrip itu.
Tak lama setelah panggilan dilakukan, sekitar pukul 20.08, dua petugas polisi tiba. Floyd sedang duduk dengan dua orang lain di mobil yang diparkir dekat situ.Â
Setelah mendekati mobil, salah satu petugas, Thomas Lane, mengeluarkan senjatanya dan memerintahkan Floyd untuk menunjukkan tangannya. Dalam sebuah laporan tentang insiden itu, jaksa tidak menjelaskan mengapa Lane berpikir perlu menarik pelatuk senjatanya.
Lane, kata jaksa penuntut, "meletakkan tangannya di atas Floyd, dan menariknya keluar dari mobil". Kemudian Floyd "secara aktif menolak diborgol".
Namun, setelah diborgol, Floyd menjadi patuh pada polisi sementara Lane menjelaskan bahwa dia ditangkap karena "memberikan uang palsu".
Ketika petugas mencoba untuk memasukkan Floyd ke dalam mobil patroli, terjadi pergolakan.
Sekitar pukul 20.14, Floyd "menegang, jatuh ke tanah, dan mengatakan kepada petugas bahwa dia sesak," menurut laporan itu.
Chauvin pun kemudian tiba di tempat kejadian. Dia dan petugas lainnya terlibat dalam upaya lebih lanjut untuk memasukkan Floyd ke mobil polisi.
Tak Bisa Bernapas
Selama upaya ini, pada pukul 20.19, Chauvin menarik Floyd keluar dari bangku penumpang, menyebabkannya jatuh ke tanah, kata laporan itu.
Dia berbaring di sana, menghadap ke bawah, dengan posisi masih terborgol.
Saat itulah saksi mulai merekam Floyd, yang tampaknya dalam keadaan tertekan. Momen-momen ini, ditangkap di beberapa ponsel dan dibagikan secara luas di media sosial, akan terbukti sebagai momen yang terakhir bagi Floyd.
Floyd kemudian ditahan petugas, sementara Chauvin menempatkan lutut kirinya di antara kepala dan lehernya.
"Aku tidak bisa bernapas," kata Floyd berulang kali, sambil berkata "tolong, tolong, tolong".
Selama delapan menit dan 46 detik, Chauvin berlutut di leher Floyd, kata laporan jaksa penuntut.
Sekitar enam menit memasuki periode itu, Floyd menjadi tidak responsif. Dalam video-video kejadian itu, ini adalah momen ketika Floyd terdiam, ketika para saksi di lokasi mendesak para petugas untuk memeriksa denyut nadinya.
Salah satu petugas lainnya, JA Kueng, melakukan hal itu, memeriksa pergelangan tangan kanan Floyd, tetapi "tidak dapat menemukan denyutnya". Namun, para petugas tidak bergerak.
Pada 20.27, Chauvin mengangkat lututnya dari leher Floyd. Tanpa bergerak, Floyd dibawa ke kereta dorong dan dibawa ke Pusat Medis Hennepin dengan ambulans.
Dia pun dinyatakan meninggal sekitar satu jam kemudian.
Advertisement