Liputan6.com, Teheran - Pejabat Amerika Serikat (AS) dan Arab dilaporkan meyakini bahwa jika gencatan senjata atas pertempuran di Jalur Gaza tercapai maka ketegangan regional akan menurun, sehingga memberi Iran dan sekutunya ruang untuk menarik kembali janji mereka membalas pembunuhan pemimpin biro politik Hamas Ismail Haniyeh dan komandan senior Hizbullah Fuad Shukr.
Pembunuhan Haniyeh terjadi di Teheran pada 31 Juli 2024, di mana dia berada di ibu kota Iran untuk menghadiri pelantikan presiden baru negara itu. Sementara Shukr dibunuh pada 30 Juli dalam serangan Israel ke Haret Hreik, Lebanon.
Baca Juga
Sejak peristiwa itu terjadi hingga hari ini, baik Iran maupun Hizbullah belum menunjukkan tindakan nyata dari pernyataan keras mereka. Bahkan, disebut ada tanda-tanda mereka tidak akan melakukannya dalam waktu dekat.
Advertisement
Pada hari Rabu (21/8/2024), juru bicara Korps Garda Revolusi Islam Ali Mohammad Naeini mengatakan, "Waktu ada di pihak kami dan masa tunggu untuk respons ini mungkin akan diperpanjang."
Dia juga mengisyaratkan Iran mencari cara baru untuk membalas.
"Respons Iran tidak akan mengulang operasi sebelumnya. Kualitas respons, skenario, dan alat tidak selalu sama," ujarnya seperti dilansir Middle East Eye (MEE), Minggu (25/8).
Penundaan ini berbeda dengan cara Iran menangani putaran eskalasi sebelumnya.
Ketika AS membunuh Komandan Garda Revolusi Islam Qassem Soleimani pada tahun 2020, Iran merespons dalam waktu lima hari, dengan menembakkan rudal ke pangkalan militer Ain al-Assad milik AS di Irak. Serangan langsung Iran yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Israel pada bulan April terjadi 12 hari setelah konsulatnya di Damaskus, Suriah, dibom.
Bagi para pengkritik keras Iran di AS dan Israel, keragu-raguan Teheran ditafsirkan sebagai konfirmasi bahwa Negeri Para Mullah dan sekutunya lebih lemah daripada yang diyakini sebelum 7 Oktober ketika perang di Jalur Gaza pecah menyusul serangan yang dipimpin Hamas ke Israel selatan.
"Apa yang kita ketahui sebelum pembunuhan Haniyeh dan Shukr menjadi lebih jelas. Hizbullah dan Iran tidak mampu berperang habis-habisan dengan AS dan Israel karena mereka lebih lemah," kata pakar Iran di Sekolah Pascasarjana Urusan Publik dan Internasional Universitas Ottawa Thomas Juneau kepada MEE.
Iran Malu?
Pada bulan April, Iran disebut mencoba menyeimbangkan antara membangun kembali pencegahan dan menghindari perang habis-habisan dengan Israel.
Iran menunjukkan bahwa mereka bersedia menyerang Israel secara langsung, namun menyampaikan pesan serangan itu kepada mitra AS di kawasan, di mana AS langsung mengerahkan aset-aset militernya.
"Upaya Iran untuk mengukur respons pada bulan April gagal total. Israel menunjukkan pertahanannya sangat kuat," kata Juneau.
Setelah menunjukkan kartunya pada bulan April, para analis mengatakan bahwa Iran kini kesulitan menemukan formula yang tepat untuk memberikan respons baru.
"Penundaan ini menegaskan kembali kenyataan bahwa pilihan Iran untuk melakukan pembalasan berkisar dari buruk hingga sangat buruk," kata pakar Iran di International Crisis Group Ali Vaez kepada MEE.
"Bagi Iran, tindakan simbolis berisiko dan jelas tidak membuahkan hasil, sementara tindakan substantif kemungkinan akan mengundang serangan balik Israel yang lebih dahsyat atau mungkin serangan balik AS."
Haniyeh terbunuh di wisma tamu di Teheran yang dijaga oleh Garda Revolusi Islam setelah menghadiri upacara pelantikan Presiden Iran Masoud Pezeshkian.
Pembunuhan Haniyeh tidak hanya mempermalukan Iran, namun juga memicu pembersihan mata-mata.
"Kedua pembunuhan ini menunjukkan penetrasi intelijen yang serius oleh Israel," kata pakar Iran dan penulis 'Shadow Commander: Soleimani, the US and Iran's Global Ambitions' Arash Azizi.
Sejumlah pengamat menilai bahwa Iran mungkin berada dalam posisi yang kurang menguntungkan berkat dukungan tanpa syarat pemerintahan Joe Biden untuk Israel.
"Tingkat dukungan AS untuk Israel adalah sesuatu yang belum pernah kita lihat dalam sejarah hubungan yang dimulai sejak perang tahun 1973," sebut Hage Ali, dari Carnegie Center di Beirut kepada MEE.
"Daya tembak penting. Saya pikir Hizbullah memahami bahwa mengingat dukungan AS untuk Israel saat ini, perang dengan Israel juga akan melibatkan AS dan mereka tidak mau mengambil risiko itu."
Bagaimanapun, jika tidak membalas, Iran dinilai berisiko terlihat lemah, tidak hanya di mata proksi mereka, namun juga di antara negara-negara Teluk yang kuat dan pejabat AS yang mengadvokasi garis yang lebih keras terhadap Teheran.
Advertisement