Liputan6.com, Kairo - Pada tanggal 28 September 1970, Presiden Mesir, Gamal Abdel Nasser, meninggal karena serangan jantung.
Nasser telah berkuasa di Mesir sejak 24 November 1954. Dia digantikan oleh Muhammad Anwar Sadat pada tahun 1970. Nasser dianggap sebagai pemimpin pertama dari negara Arab yang menantang dominasi Barat di Timur Tengah.
Baca Juga
Melansir dari South African History Online, Kamis (28/9/2023) Nasser mengalami pukulan besar ketika Mesir dan negara-negara Arab lainnya dikalahkan oleh Israel dalam perang yang hanya berlangsung enam hari pada tahun 1967. Saat itu, Mesir dianggap sebagai negara Arab terkemuka dan dicontohi oleh bangsa Arab untuk kepemimpinan.
Advertisement
Bagi Nasser, kekalahan komprehensif pasukannya oleh Israel merupakan pukulan besar, dan dia menawarkan pengunduran dirinya. Nasser masih sangat dihormati baik di Mesir maupun di dunia Arab.
Melansir dari Britannica, Nasser dilahirkan di sebuah rumah sederhana dari bata lumpur di jalan tak berpaving di wilayah Bacos di Alexandria, tempat ayahnya bertugas di kantor pos setempat. Untuk menciptakan citra presiden sebagai anggota kelas petani pedesaan (fellahin), pemerintah Mesir selama bertahun-tahun menyebut tempat kelahirannya sebagai Banī Murr, sebuah desa kuno di Mesir Hulu yang menjadi asal nenek moyangnya.
Setelah itu, Nasser pindah ke Al-Khaṭāṭibah, sebuah desa di daerah delta yang kumuh, di mana dia mendapatkan pendidikan awalnya. Selanjutnya, dia tinggal di Kairo bersama seorang paman yang baru saja dibebaskan dari penjara Inggris dan tinggal di sebuah bangunan yang juga dihuni oleh sembilan keluarga Yahudi.
Nasser selalu mengalami kesulitan dengan guru-guru di sekolahnya, yang beberapa di antaranya adalah warga Inggris. Ia aktif dalam berbagai demonstrasi jalanan menentang kehadiran Inggris. Suatu waktu, ia bahkan terkena pukulan di dahi yang meninggalkan bekas seumur hidup.
Setelah menyelesaikan sekolah menengah, ia mengikuti kuliah hukum selama beberapa bulan sebelum kemudian masuk ke Akademi Militer Kerajaan dan lulus dengan pangkat letnan dua.
Pembentukan Free Officers dan Rencana Rahasia Revolusi Mesir
Ketika berdinas di tentara Mesir di Sudan, Nasser bertemu dengan tiga perwira lainnya, yaitu Zakariyyā Muḥyi al-Dīn (Zakaria Mohieddine), yang kemudian menjadi wakil presiden Republik Arab Bersatu. ʿAbd al-Ḥakīm ʿĀmir, yang kemudian naik pangkat menjadi panglima besar, dan Anwar el-Sādāt, yang akan menggantikan Nasser sebagai presiden.
Mereka bersama-sama merencanakan organisasi revolusioner rahasia yang disebut "Free Officers", yang komposisinya hanya diketahui oleh Nasser. Tujuan utama mereka adalah mengusir Inggris dan keluarga kerajaan Mesir.
Pada 23 Juli 1952, Nasser dan 89 Free Officers lainnya melakukan kudeta hampir tanpa pertumpahan darah untuk menggulingkan pemerintahan monarki. Sādāt ingin segera melaksanakan eksekusi publik terhadap Raja Farouk I dan beberapa anggota pemerintah, tetapi Nasser menolak gagasan itu dan memilih untuk membiarkan Farouk dan yang lainnya pergi ke pengasingan.
Negara ini kemudian dikuasai oleh Dewan Komando Revolusioner yang terdiri dari 11 perwira di bawah kendali Nasser. Mayor Jenderal Muḥammad Naguib diangkat sebagai kepala negara, namun sebenarnya hanya sebagai boneka.
Selama lebih dari setahun, peran sebenarnya Nasser berhasil disembunyikan dengan baik sehingga koresponden asing yang cerdas pun tidak menyadarinya. Namun, pada musim semi tahun 1954, melalui serangkaian intrik yang rumit, Naguib digulingkan dan ditempatkan di bawah tahanan rumah, dan Nasser muncul dari kegelapan dan menunjuk dirinya sebagai perdana menteri.
Pada tahun yang sama, seorang fanatik Mesir diduga mencoba membunuh Nasser dalam pertemuan massa di Alexandria. Ketika penembak itu mengakui bahwa ia mendapat tugas dari Ikhwanul Muslimin, Nasser kemudian mengambil tindakan tegas terhadap organisasi keagamaan Muslim ekstremis tersebut.
Advertisement
Pemilihan Presiden 1956: Suara Hampir Sejuta Rakyat Mesir untuk Nasser
Pada bulan Januari 1956, Nasser mengumumkan diberlakukannya konstitusi yang menjadikan Mesir sebagai negara Arab sosialis dengan sistem politik satu partai dan dengan Islam sebagai agama resmi.
Pada bulan Juni, hampir 99,948 persen dari lima juta warga Mesir yang memberikan suara memilih Nasser sebagai presiden, karena dia merupakan satu-satunya kandidat. Konstitusi tersebut disetujui oleh 99,8 persen dari pemilih.
Ketika Nasser mengambil alih kendali penuh, masa depan Mesir terlihat cerah. Mereka telah menandatangani kontrak rahasia dengan Cekoslowakia untuk perlengkapan perang, dan Britania Raya serta Amerika Serikat setuju untuk mendanai tahap awal proyek Bendungan Tinggi Aswan sebesar 270 juta dolar AS.
Namun, pada 20 Juli 1956, Menteri Luar Negeri AS, John Foster Dulles, membatalkan tawaran AS, kemudian Britania Raya juga mengikuti langkah tersebut. Lima hari setelahnya, Nasser mengumumkan nasionalisasi Terusan Suez dalam pidatonya di pertemuan massa di Alexandria, dengan janji bahwa pendapatan tol yang diterima Mesir selama lima tahun akan digunakan untuk membangun bendungan itu.
Baik Britania Raya maupun Prancis memiliki kepentingan di terusan tersebut dan bersekongkol dengan Israel, yang hubungannya dengan Mesir menjadi semakin tegang setelah perang Arab-Israel pertama pada tahun 1948–1949 untuk mengalahkan Nasser dan menguasai kembali terusan itu. Sesuai rencana mereka, pada 29 Oktober 1956, pasukan Israel menyerbu Semenanjung Sinai. Dua hari berikutnya, pesawat Prancis dan Britania Raya menyerang lapangan udara Mesir.
Meskipun Israel berhasil menduduki Semenanjung Sinai hingga Sharm al-Shaykh dan angkatan udara Mesir hampir hancur, Nasser tetap mempertahankan prestisenya di seluruh dunia Arab setelah perang singkat tersebut.
Visi Revolusioner Nasser: Pemimpin bagi Jutaan Arab, Afrika, dan Penganut Islam
Dalam "Filsafat Revolusi" yang ditulisnya pada tahun 1954, Nasser menggambarkan peran-peran heroik dan mulia yang belum pernah diemban oleh pahlawan-pahlawan. Ia juga menyampaikan cita-citanya untuk menjadi pemimpin bagi 55 juta orang Arab, kemudian 224 juta orang Afrika, dan akhirnya 420 juta penganut Islam.
Pada tahun 1958, Suriah dan Mesir membentuk Republik Arab Bersatu yang diharapkan oleh Nasser akan mencakup seluruh dunia Arab suatu hari nanti. Meskipun Suriah mundur pada tahun 1961, Mesir tetap dikenal sebagai Republik Arab Bersatu hingga tahun 1971. Itu adalah pencapaian terdekat yang pernah dicapai oleh Nasser dalam mewujudkan impian tiganya.
Meskipun ia memiliki kehidupan publik yang rumit dan revolusioner, secara pribadi Nasser adalah pribadi yang konservatif dan sederhana. Tidak ada pemimpin Arab lain dalam sejarah modern yang berhasil memperoleh dukungan kadang-kadang histeris dari massa Arab di seluruh Timur Tengah seperti halnya Nasser selama 15 tahun terakhir hidupnya.
Bahkan kehilangan dalam dua perang, yang mengakibatkan kerugian besar bagi Mesir, tidak mengurangi popularitas perwira militer yang karismatik, seperti tokoh dalam mitos yang menjadi orang Mesir pertama yang benar-benar memerintah negara itu dalam ribuan tahun, memberikan martabat kepada rakyatnya yang selama ini terabaikan di bawah pemerintahan asing.
Namun, cita-citanya untuk menciptakan dunia Arab yang bersatu gagal, dan menjelang kematiannya, ia terpaksa mengorbankan sebagian kemerdekaan politik Mesir demi dukungan militer dari Uni Soviet.
Advertisement